Judul di atas mungkin kini ada di kepala orang-orang yang masih mengidap penyakit baper kronis usai Pilgub DKI
2017. Ya, selain menimbulkan perseteruan panas, Pilgub DKI lalu memang merusak
sebagian objektivitas dan rasionalitas dalam berpikir. Konsep keadilan dalam
berpikir sudah tak ada lagi di kepala sebagian barisan sakit hati.
Sebaliknya, yang tersisa dari Pilgub adalah semangat untuk
membalas dendam kekalahan. Memang tak semua yang mengidap penyakit kejiwaan
bawaan Pilkada ini. Warisan Pilkada memang begitu dalam. Ini mirip seperti
Pilpres 2014. Sejak itulah kita mengenal kata haters atau mereka yang
membenci calon terpilih.
Sedikit intermezo saja. Haters sejatinya
merupakan leksikon bahasa Amerika yang diciptakan oleh aktor
Will Smith. Pada tahun 1997, Smith memperkenalkan istilah haters lewat
lagu hits-nya Gettin’
Jiggy wit It. Smith mengartikan haters sebagai orang
yang cemburu pada keberhasilan orang lain.
Dengan filosofi yang sama kita bisa mengartikan haters di
dunia politik adalah orang-orang yang dipenuhi rasa cemburu karenakekuasaan
yang bertepuk sebelah tangan. Jadi layaknya orang yang sedang dibakar cemburu,
logika adalah barang nomor dua. Emosi jadi semangat utama haters ini.
Sehingga wajar haters tak butuh rasionalitas.
Celakanya haters yang
menggadaikan rasionalitas ini ada di segala lapisan, utamanya orang terdidik.
Profesor hukum dari Wake Forest University, Gregory S Parks bahkan
menilai haters ini
adalah orang yang menipu akalnya sendiri. Tak peduli tingkat kecerdasannya,
haters memanipulasi rasionalitas demi melanggengkan kebenciannya.
Kita mesti bersyukur Pilkada DKI tak hanya memproduksi haters. Sebab
masih ada dari dari Ahoker yang punya rasionalitas untuk menilai kinerja
gubernur baru, Anies Baswedan. Di sisi lain, banyak Aniser yang juga masih
tetap berpikir kritis sekalipun yang berkuasa adalah jagonya.
Sayangnya kecenderungan baper tetap masih besar, bahkan di
kalangan media. Jurnalis sebagai warga negara biasa memang punya preferensi
politik pribadi. Celakanya, preferensi pribadi ini masuk ke ruang redaksi.
Jurnalis harusnya terbebas dari subjektivitas politik. Tapi semua hanya bait
pemanis kata dalam kode etika. Gejolak hati membuat banyak jurnalis, tak peduli
zaman old atau zaman now juga ikut dalam pusaran baper atau
cheerleader
Sumber : http://www.republika.co.id/berita/kolom/fokus/17/11/30/p077z1322-anies-baswedan-sudah-terbukti-gagal